Friday, July 10, 2015

Ekonomi Indonesia Bagaikan Bunker di Tengan Badai Ekonomi Dunia

Tulisan ini saya buat setelah saya menyadari bahwa perekonomian Indonesia menurun beberapa tahun terakhir, khususnya sejak 2013. Tetapi di sisi lain, secara jujur, terjadi upaya pemerataan yang secara nyata bisa dilihat. Artinya, perekonomian Indonesia menemukan wujud barunya, yang kelak akan menjadi wujud aslinya. Wujud yang tidak memakai topeng kesenangan, tapi wujud yang bermandikan keringat darah.
Keadaan ekonomi Indonesia, menurut saya, adalah kasar. Mengapa tidak ? Indonesia mengalami peristiwa bencana alam yang berlangsung tiada henti setiap detiknya mulai dari Sabang sampai Merauke. Selalu saja ada bencana alam yang secara acak bisa menimpa kota manapun. Ekonomi Indonesia sejauh ini, dibangun oleh tiang-tiang besar seperti mineral, minyak dan gas, pegiriman tenaga kerja, dan pariwisata. Perusahaan industri mineral jelas membutuhkan modal yang besar. Hal ini dikeluhkan orang Indonesia sendiri kalau negara Indonesia belum bisa memaksimalkan pengerukan mineral dari bumi. sebagian menganggap 'otak' orang Indonesialah yang belum mampu. Sebagian lagi beranggapan modal besar belum sanggup diberikan Indonesia. Serupa pula untuk sektor minyak dan gas, yang bisa menyebabkan konflik akibat ketidaksenangan bisa meledak dimana saja di seluruh Indonesia. Lagipula, mineral dan minyak dan gas di Indonesia bukannya abadi. Sektor jasa dan UKM, coba kita tanya sendiri kepada siri kota sendiri, apakah sudah bebas KKN dan pungli ? Pengiriman TKI, seperti yang kita tahu, selalu diusahakan agar tidak merugikan pihak manapun. Tetapi, siapa yang tak geram kalau bangsanya tidak mampu menyediakan lapangan kerja sehingga harus dilokasikan ke negara bangsa orang lain ? Sektor pariwisata, selalu ditodong oleh 'isu hijau'. Sektor pariwisata juga berdiri di atas kebudayaan lokal yang tradisional. Padahal hal ini sudah mulai terkikis, khususnya pada kehidupan urban. Belum lagi, sektor pariwisata berdiri di atas keindahan alam, dapat tiba-tiba 'dimatikan' oleh bencana alam yang secara acak bisa menghampiri. Kasar, bukan ? Di satu sisi, kita bergantung pada alam, tetapi di sisi lain, alam kita secara acak dapat menghamburkan mimpi kita seketika. Kuncinya, kita harus tetap taat kepada Yang Mahakuasa. Di satu sisi, kita mengusahakan sistem padat karya, tetapi di sisi lain, karya kita dibawa ke negara lain. Kuncinya, kita harus tetap taat kepada Yang Mahakuasa.
Tetapi karena itulah, Indonesia belajar untuk menjadi independen dari dunia luar. Kita berusaha agar kita sendiri yang makan dari beras kita sendiri. Kita sendiri yang berenang di laut dan danau kita. Kita sendiri yang menghirup udara segar dari pegunungan kita. Berbeda daengan beberapa negara yang sedang merangkak untuk berdiri menjadi negara industri baru, yang butuh uang manusia dari bangsa dan negara lain untuk tetap berjalan.
Sifat mandiri ini yang terus menerus digalakkan oleh bangsa Indonesia. Kondisi ini dapat mengantarkan Indonesia menjadi negara yang rakyatnya makmur. Jadi, apapun yang terjadi pada ekonomi dunia, perekonomian Indonesia terus maju, tidak pernah mundur, paling parah hanya akan melambat. Hutang-hutang yang dilakukan Indonesia belakangan ini selalu digunakan untuk sektor-sektor yang bersifat berkelanjutan dan memiliki dampak positif jangka panjang. Misalnya, pinjaman dari negara Jepang untuk pembangunan poros maritim kedua negara.
Indonesia sendiri, seperti yang sering dikatakan cendekiawan di negara ini, memiliki bonus populasi. Bonus populasi ini, sebenarnya juga sudah dialami sejak pengiriman TKI. Ini adalah indikasi, bahwa kekuatan dari populasi Indonesia bisa digunakan untuk membangun bukan hanya Indonesia, tapi juga negara lainnya. Bila TKI dikirim ke sepuluh negara, secara kasar, artinya, bonus populasi Indonesia bisa adigunakan untuk membangun sepuluh negara lain selain Indonesia. Bila seluruh tenaga kerja ini dapat ditampung dan diarahkan untuk menggerakkan roda perekonomian Indonesia, mulai dari pegunungan hingga lautan dapat kita gunuakan demi kemajuan negara ini berlipat-lipat lebih besar dari yang bisa kita lihat sekarang ini.
Dalam ekonomi dunia yang sudah ikut mengalami globalisasi dimana perekonomian digerakkan oleh saham dan modal-modal raksasa, gejolak kecil di satu sisi dunia dapat menjadi badai di sisi lain dunia. Karena itu, sama dengan negara-negara lain, segala isu ekonomi dunia ditanggapi secara cepat dan sigap. Tetapi di Indonesia, yang terjadi adalah lebih dari itu. Para pelaku ekonomi, baik besar dan kecil sudah sangat peka akan isu-isu ekonomi internasional. Mereka menanggapinya seperti menganggapi gempa kecil yang berpotensi tsunami. Jelas saja, krisis ekonomi di tahun 90-an akhir masih terekam di memori. Taipan-taipan sekarang bisa jadi bukan orang yang sama dengan yang dua puluh tahun yang lalu. Tetapi pastinya, keturunan mereka tetap waspada akan 'tsunami ekonomi' di masa depan.
 Pengalaman pada krisis ekonomi tahun 90-an akhir menjadi pengalaman yang benar-benar menjadi pelajaran bagi Indonesia. Setiap kali ada gejolak, selalu dibandingkan dengan krisis tersebut. Perbandingan tersebut lebih banyak digunakan daripada krisis ekonomi dunia tahun 2007. Karena pada tahun 2007, Indonesia sudah menjadi seperti 'bunker'.
Serpti yang disampaikan di atas, sejalan dengan itu, sejak saat itu, hampir seluruh rencana ekonomi Indonesia harus sejalan, berlandaskan, dan tidak bertentangan dengan : ketahanan sandang, ketahanan pangan, dan ketahanan papan. Intinya, back to basic. Ini adalah upaya bangsa Indonesia untu mengindari trauma ekonomi tahun 90-an akhir. Ketahanan ekonomi Indonesia pada krisis 2007 juga menjadi kebanggan tersendiri. Indonesia sedang menjadi ahli dalam menenangkan diri. Menenangkan diri dalam segala gejolak ekonomi global dan ibarat merubah badai menjadi kekuatan yang mendorong maju bahtera besar.
 Kini, walaupun belum semua, bangsa Indonesia sadar bahwa lebih baik membangun ekonomi negara dimulai dari UKM, yang ringan modal namun padat karya. Sekali lagi, hal ini lebih baik daripada gemerlap ekonomi tahun 80-an akhir ahingga 90-an awal yang dianggap palsu. Keadaan ekonomi sebuah negara akan dinilai asli dan jujur bira merata.Sedangkan akan dianggap bohong dan palsu bila tidak merata.
Dampak negatifnya adalah, setiap kali bangsa Indonesia ingin menjadi maju dalam teknologi, selalu ada hambatan. Hambatan yang seolah ingin memulangkan kembali para 'anak teknologi' (orang-orang yang sejak kecil sudah memakai teknologi dan ketika dewasa sudah mampu menciptakan teknologi modern) kembali berladang dan menjala ikan.
Demikian yang bisa saya sampaikan. Mohon maaf kalau ada kesalahan kata. Saya tidak bermaksud menyinggung siapapun dan apapun. Sekian dari saya untuk kali ini, terima kasih.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home